Correspondance Corbin – Bonnefoy
10 junio 2018Décès de Michel Cazenave
27 agosto 2018Henry Corbin dan Kritik Filsafat Islam Orientalis
Article indonésien repris de https://ganaislamika.com/
https://ganaislamika.com/henry-corbin-dan-kritik-filsafat-islam-orientalis/
“Filsafat Islam bagi Corbin mesti dipandang seperti halnya konsep Ekumenisme dalam Islam, tak hanya melihat bahasa Arab sebagai bahasa “wahyu” yang universal, perspektif ini sekaligus mewakili konstruksi budaya pemeluknya, dan karenanya tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat sekuler. Corbin mencatat di antara bias ini ialah distorsi penejemahan dan makna, baginya padanan kata ‘aql dalam bahasa Barat bukanlah ratio tetapi intellectus atau Nous.”
Sebelum Edward Said mengusung kritiknya terhadap orientalisme, kendati dengan alasan, motif dan kasus yang berbeda, Henry Corbin telah lebih dahulu menyuarakan perlawanan atas hegemoni ini. Kesamaan etos profesi akademik keduanya, memberi nuansa resistensi intelektual, dan yang menjadikan kritik corbin unik adalah oposisi terhadap orientalisme ini datang dari “dalam” (reverse orientalist) karena subjek karir kesarjanaan Corbin adalah tradisi dan pemikiran Islam di “timur”.
Sedikit sarjana yang memiliki pengaruh besar dan mendapat tempat terhormat di dunia Islam, untuk menyebut satu di antaranya ialah Henry Corbin. Dilahirkan di Paris tahun 1903, dan terlahir sebagai Protestan, Corbin mengenyam pendidikan awal dalam tradisi Katolik. Selepas sekolah, tahun 1923 Corbin terdaftar di kampus terbaik Prancis saat itu, École Pratique des Hautes Études.[1]
Dia merampungkan studi filsafatnya dalam arahan Étienne Gilson, yang menjadi awal perjumpaannya dengan teks-teks filsafat klasik dan terjemahan latin dari karya filsafat berbahasa Arab. Tak lama setelah memperoleh diploma filsafat, Corbin juga menyelesaikan studi Islam dengan bimbingan Louis Masignon, yang menjadikannya akrab dengan budaya Oriental dan bahasa Arab, Persia, Sansakerta serta Turki. Tahun 1928 Corbin menuntaskan pendidikan filsafat dengan tesisnya tentang Stoisisme dan Pemikiran Santo Augustin.[2]
Sempat bekerja di perpustakaan Nasional Prancis, Corbin melanjutkan ‘karir’ dengan mengunjungi Jerman dan Swedia yang dimulai tahun 1930 hingga tahun 1936. Dalam beberapa kali kunjungannya, Corbin bertemu dengan figur-figur istimewa seperti—untuk menyebut diantaranya—Rudolph Otto, Rabindranath Tagore, Alexander Kojéve, Ernst Cassirer, Karl Barth dan Intelektual penting lainnya. Pada periode yang sama, ia juga berjumpa Martin Heidegger dan membaca karya-karyanya.[3]
Iklim intelektual ketika itu memperkaya wawasan Corbin, yang kendati fokus awalnya ialah filsafat, menjadikan minatnya merambah ke wilayah Teologi, Mistisme, Fenomenologi, dan Hermeneutika. Sepulang dari safarinya, Corbin kembali ke Prancis mengajar Teologi dan Hermenetika tradisi Luther, serta menerjemahkan pertama kalinya karya Martin Heidegger dan Karl Barth ke dalam Bahasa Prancis. Dari aktifitas dan karyanya, nampak pengaruh fenomenologi filosofis Jerman dan teologi eksistensial begitu menginspirasi kehidupan intelektual Corbin saat itu.[4]
Walau diwarnai beragam tradisi pemikiran, Corbin menemukan momentum karirnya sebagai orientalis kala ia membaca karya-karya Suhrawardi (Syihab al-din Yahya Suhrawardi). Hikmat al-Isyraq adalah karya Suhrawardi pertama yang Corbin kenal, ia memperolehnya dari Louis Masignon dalam bentuk salinan litograf. Dalam perjalanan karir Corbin selanjutnya, Suhrawardi dikutip hampir di seluruh karya Corbin, bahkan ia menyebutnya Imam Platonis Persia. Tak hanya menjadi figur sentral karir kesarjanaannya, lebih dari itu, Suhrawardi adalah sosok pahlawan dalam kehidupan spiritual corbin.[5]
Di tahun 1935 karya orientalis Corbin pertama tentang Suhrawardi terbit. Ia melanjutkan karirnya dengan meneliti manuskrip Suhrawardi di Istanbul sekaligus memimpin Institut Arkeologi Prancis di Turki. Pada tahun 1947, Corbin berkesempatan mengunjungi negeri Suhrawardi bahkan menganggap Iran sebagai kampung ruhaninya. Ia ditunjuk menjadi Direktur di Institut franco-iranien de Teheran hingga 1973. Di tempat barunya ini Corbin kembali banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh penting, misalnya dengan Allamah Thabathaba’i dan Jalaluddin Ashtiyani. Khusus Ashtiyani, Corbin memujinya habis-habisan, dan menganggapnya sebagai representasi par excellence filsafat Islam.[6]
Kolaborasi proyek antara Corbin dan Ashtiyani ialah antologi karya filsuf Muslim sejak abad 17. Kehidupan Corbin setelahnya banyak dihabiskan di Iran dan sesekali kembali ke Paris menjalankan tugas akademiknya hingga masa pensiun, periode Corbin di Iran dijalani selama kurang lebih 29 tahun. Pada masa-masa inilah Corbin semakin produktif, banyak karya serta gagasan pentingnya—seperti filsafat Oriental, topografi spiritual, dan dunia imajinal—terinspirasi dan matang saat ia tinggal di Iran. Karya pentingnya ketika itu ialah Bibliotheque Iranienne, 23 jilid buku bertema filsafat dan mistisme.[7]
Diskursus orientalisme dalam studi Islam bagi sarjana barat memiliki dua pintu masuk utama. Pertama, melalui studi filologi, misalnya mereka yang menjadikan bahasa Arab atau Persia sebagai aparatusnya. Kedua lewat studi sejarah, misalnya dengan pendekatan keilmuan antropologi, sosiologi, psikologi dan disiplin lainnya. Posisi Corbin menjadikannya berbeda dengan mayoritas orientalis karena latar belakang akademiknya sebagai filsuf dan kecenderungan karir intelektualnya pada mistisme. Sementara banyak orientalis dengan tendensi misionaris, hanya sedikit figur seperti Corbin. Dengan sedikit pengecualian seperti Max Horten yang juga seorang filsuf, Corbin menjadi orientalis Eropa pertama yang sekaligus filsuf mayor—dengan pengertian teknisnya—dalam studi Islam di Barat.
Tema utama karya Corbin dalam karir orientalisnya selain filsafat, ialah sufisme dan syi’isme. Pendidikannya sebagai seorang filsuf menjadikan ia membaca filsafat Islam dalam kesarjanaan Orientalisme secara berbeda. Tidak hanya pendekatan rasional, bagi Corbin, konsepsi filosofis harus menjangkau hingga sisi kebenaran esoteris, elemen ini baginya selain sangat minim dalam aktifitas filsafat di Barat, juga diabaikan oleh para orientalis. Corbin kadang menyebut elemen ini adalah teosofi, kendati ia menggunakan istilah ini secara literal dan tidak secara teknis, teosofi menjadi unsur kunci yang dominan dalam karya-karya Corbin.
Sebelum Corbin, kecenderungan Eropa-sentris filsafat Islam dalam studi orientalis bisa dilihat dengan mudah dari pergeseran istilah filsafat Islam ketika awalnya studi ini disebut filsafat Arab. Terma Arab semata-mata digunakan karena tokoh filsafatnya menulis dalam bahasa Arab dan tinggal di bawah pemerintahan Islam. Istilah “Arab” ini menurut Corbin terlalu terpaku pada definisi linguistik, baginya penggunaan terma seperti ini pada filsafat Islam tidak memadai bukan semata-mata karena bias bahasa, tetapi juga bias etnik, budaya serta politik. Filsafat Islam bagi Corbin mesti dipandang seperti halnya konsep Ekumenisme dalam Islam, tak hanya melihat bahasa Arab sebagai bahasa “wahyu” yang universal, perspektif ini sekaligus mewakili konstruksi budaya pemeluknya, dan karenanya tidak bisa dibatasi oleh sekat-sekat sekuler. Corbin mencatat di antara bias ini ialah distorsi penejemahan dan makna, baginya padanan kata ‘aql dalam bahasa Barat bukanlah ratio tetapi intellectus atau Nous.[8] Corbin juga mencontohkan bias lainnya, fakta bahwa banyak filsuf Persia yang menulis karyanya dalam bahasa Arab, analog dengan Descartes, Spinoza, Kant atau Hegel yang menulis karyanya dalam bahasa latin, tetapi mereka tidak lantas dikategorikan sebagai penulis “Latin” atau “Romawi”. (GI)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Daryush Shayegan. Henry Corbin dalam EncycIopedia Iranica. Diakses 15 Juli 2018 dari http://www.iranicaonline.org/articles/corbin-henry-b.
[2] Ibid
[3] Janis Esots, Henry Corbin dalam Encyclopaedia Islamica, Vol. 5. (2015), halaman 788.
[4] Hermann Landolt, Henry Corbin, 1903-1978: Between Philosophy and Orientalism dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 119, No. 3 (1999), hal 484.
[5] Henry Corbin, Biographical Post-scriptum to a Philosophical Interview, Diakses 15 Juli 2018 dari https://www.amiscorbin.com/en/biography/biographical-post-scriptum-to-a-philosophical-interview/.
[6] Hamid Algar, The Study of Islam: the Work of Henry Corbindalam Religious Studies Review, Vol. 6, No. 2, April 1980, hal 88.
[7] Janis Esots, Henry Corbin dalam Encyclopaedia Islamica, Vol. 5, 2015. hal 781.
[8] Henry Corbin, History of lslamic Philosophy, London and New York, Kegan Paul International, 1993. hal 251.
Voir également : https://ganaislamika.com/category/orientalis/